Selasa, 12 Juni 2012

Hukum Perjanjian (Prof. Subekti, S.H.)

SYARAT-SYARAT SAHNYA SUATU PERJANJIAN
 Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
3. Mengenai Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal;;

Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat seuatu perjanjian :
1.  Orang-orang yang belum dewasa;
2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;
3. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu;


BATAL DAN PEMBATALAN SUATU PERJANJIAN
Dalam Hukum Perjanjian ada 3 sebab yang membuat perizinan tidak bebas, yaitu :
1. Paksaan;
2. Kekhilafan;
3. Penipuan;

SAAT DAN TEMPAT LAHIRNYA PERJANJIAN
Menurut asas konsensualisme, suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya kesepakatan atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi objek perjanjian. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu , adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lain, meskipun tidak sejurusan tetapi secara timba balik kedua kehendak itu bertemu satu sama lain. Sepakat yang diperlukan untu melahirkan suatu perjanjian dianggap telah tercapai , apabila pernyataan yang dikeluarkan oleh suatu pihak diterima oleh pihak lain. Sebagai kesimpulan dapat ditetapkan, Suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya kesepakatan maka perjanjian itu lahir pada detik diterimanya suatu penawaran.

PERSONALIA DALAM SUATU PERJANJIAN
Yang dimaksudkan dengan personalia disini adalah tentang siapa-siapa yang tersangkut dalam suatu perjanjian.
Pasal 1315 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
"Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau diminta ditetapkannya suatu janji untuk dirinya sendiri".
Suatu perjanjian adalah timbal balik atau bilateral. Artinya Suatu pihak yang memperoleh hak-hak dan perjanjian itu, juga menerima kewajiban-kewajiban yang merupakan kebalikannya dari hak-hak yang diperolehnya, dan sebaliknya suatu pihak yang memikul kewajiban-kewajiban juga memperoleh  hak-hak yang dianggap sebagai kebalikannya kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya itu.

PELAKSANAAN SUATU PERJANJIAN
Perjanjian dibagi dalam tiga macam :
1. Perjanjian untuk memberikan menyerahkan suatu barang;
2. Perjanjian untuk berbuat sesuatu;
3. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu;
hal yang harus dilaksanakan itu dinamakan : Prestasi

Untuk melakukan suatu perjanjian, lebih dalulu harus ditetapkan secara tegas dan cermat apa saja isi perjanjian tersebut, atau dengan kata lain, apa saja hak dan kewajiban masing-masing pihak. Biasanya orang mengadakan  suatu perjanjian dengan tidak mengatur atau menetapkan secara teliti hak dan kewajiban mereka. Mereka itu hanya menetapkan hal-hal yang pokok dan penting saja. Dalam jual beli misalnya, hanya ditetapkan tentang barang mana yang dibeli, jenisnya, jumlahnya, harganya. Tidak ditetapkan tentang tempat penyerahan barang, biaya pengantaran, tempat dan waktu pembayaran, bagaimana kalau musnah di perjalanan dan lain sebagainya.

Norma suatu perjanjian, yaitu : Undang-undang, kebiasaan dan kepatutan yang diatur dalam :
Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk "segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan (diwajibkan) oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang".

Menurut pasal 1338 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, semua perjanjian itu harus dilaksanakan dengan itikad baik (dalam bahasa Belanda teogeder trouw; dalam bahasa Inggris in good faith, dalam bahasa Perancis de bonne foi). Norma yang dituliskan diatas ini merupakan salah satu sendi yang terpenting dari Hukum Perjanjian.


WANPRESTASI DAN AKIBAT-AKIBATNYA
Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi buruk (Bandingkan : wanbeher yang berarti pengurusan buruk, wandaad perbuatan buruk). Apabila si berutang tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka dikatakan ia melakukan "wanprestasi". Ia alpa atau "lalai" atau ingkar janji.

Wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat macam :
a. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
b. melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya;
c. melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
d. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya;

Hukuman atau akibat-akibat yang tidak enak bagi debitur yang lalai, ada empat macam, yaitu :
a. membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti-rugi;
b. pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian;
c. peralihan resiko;
d. membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim;

Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
"Si berutang adalah lalai, bila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri jika ini menetapkan bahwa si berutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan".

Sanksi-sanksi yang diberikan kepada si berutang (debitur) jika ia lalai atau alpa :
1. Biaya : segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak.
2. Ganti rugi : kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur.
3. Bunga : kerugian yang berupa kehilangan keuntungan (bahasa belanda : winstderving) yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur.

PEMBELAAN DEBITUR YANG DITUDUH LALAI
a. Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht atau force majeur).
b. Mengajukan bahwa kreditur sendiri juga telah lalai (exceptio non adimpleti contractus).
c. Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan hak nya untuk menuntut ganti rugi (pelepasan hak : bahasa belanda : rechtsverwerking).

 R I S I K O
Risiko ialah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak.
Buku ke III Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1237 :
"Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu, maka barang itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang".

Dalam bagian khusus, memang kita ketemukan beberapa pasal  yang mengatur soal risiko. Jika kita bandingkan pasal 1460 ( risiko dalam jual beli) dengan pasal 1545 (risiko dalam tukar menukar), maka ternyatalah dua pasal itu, kedua-duanya mengatur soal risiko dalam suatu perjanjian yang timbal balik tetapi sangat berbeda satu sama lain!
Pasal 1460 mengatakan :
"Jika barang yang dijual itu berupa suatu barang yang sudah ditentukan, maka barang ini sejak saat pembelian adalah tanggungan si pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan, dan si penjual berhakmenuntut harganya".
Sebaliknya Pasal 1545 menetukan :
"Jika suatu barang tertentu, yang telah dijanjikan untuk ditukar musnah di luar kesalahan pemiliknya, maka perjanjian dianggap sebagai gugur, dan pihak yang tekah memenuhi perjanjian dapat menuntut kembali barang yang telah diberikannya dalam tukar menukar itu".

CARA-CARA HAPUSNYA SUATU PERIKATAN
Pasal 1381 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan sepuluh cara hapunya suatu perikatan :
1) pembayaran;
2) penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
3) pembaharuan utang;
4) perjumpaan utang atau kompensasi;
5) percampuran utang
6) pembebasan utang;
7) musnahnya barang yang terutang;
8) batal/pembatalan;
9) berlakunya suatu syarat batal dan
10) lewatnya waktu.

JUAL BELI
Jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.
Pasal 1458
"Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak sewaktu mereka telah mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu nelum diserahkanmaupun harganya belum dibayar".

Sifat yang penting dari jual beli menurut Sistem Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah bahwa perjanjian jual beli itu hanya "obligator" saja. Artinya, jual beli itu belum memindahkan hak milik, ia barumemberikan hak danmeletakkan kewajiban pada kedua belah pihak, yaitu memberika kepada si pembeli untuk menuntut diserahkannya hak milik atas barang yang dijual.
Pasal 1471 : "Jual beli orang lain adalah batal, dan dapat memberikan dasar untuk ganti rugi, jika si pembeli tidak mengetahui bahwa kepunyaan itu milik orang lain".

Risiko dalam jual beli, menurut pasal 1460 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, diletakkan pada pundaknya si pembeli. Bahwa untuk membatasi kemungkinan keganjilan-keganjilan yang dapat timbul karena peraturan tersebut, pasal tersebut dibatasi berlakunya, hingga hanya mengenai barang tertentu saja yang musnah sebelum diserahkan kepada si pembeli.

SEWA - MENYEWA
Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Perjanjian Sewa -menyewa
"Sewa menyewa, ialah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lain kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dengan pembayaran sesuatu harga yang oleh pihak terakhir disanggupi pembayarannya".

Sewa menyewa seperti halnya dengan jual beli dan perjanjian lain pada umumnya, adalah suatu perjanjian konsensuil. Artinya, ia sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya sepakat mengenai unsur-unsur pokok yaitu, barang dan harga. Kewajiban pihak yang satu, menyerahkan barangnya untuk dinikmati oleh pihak lain, sedangkan kewajiban pihak yang terakhir ini, membayar harga sewa. Jadi barang itu diserahkan tidak untuk dimiliki, tetapi hanya untuk dipakai, dinikmati kegunaanya. Dengan demikian penyerahan tadi hanya bersifat menyerahkan kekuasaan belaka atas barang yang disewa itu.  Kalau seorang diserahi barang untuk dipakainya, tanpa kewajiban membayar suatu apa, maka yang terjadi itu adalah suatu perjanjian pinjam pakai. Jika si pemakai barang itu diwajibkan membayar, bukan lagi pinjam pakai yang terjadi, tetapi sewa-menyewa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar